Darkush, sebuah kota kecil di barat laut Suriah, berada di tepi Sungai Orontes yang tenang. Meski perang Suriah sudah memasuki tahun ke-14, Darkush dikenal sebagai salah satu kota yang relatif lebih jarang tersentuh pertempuran besar dibandingkan kota-kota lain di Idlib.
Sejak awal konflik pada 2011, Darkush memang jatuh ke tangan oposisi cukup cepat. Namun berbeda dengan kota-kota strategis seperti Ma’arrat al-Nu’man atau Khan Shaykhun yang berada di jalur utama Damaskus–Aleppo, Darkush tidak menjadi ajang pertempuran sengit. Posisi geografisnya membuat kota ini lebih aman.
Kedekatan Darkush dengan perbatasan Turki turut memberi pengaruh. Kota ini menjadi wilayah yang lebih terlindungi, karena berada di belakang garis depan. Banyak pengungsi memilih Darkush sebagai tempat transit atau bahkan menetap di sekitarnya.
Serangan udara tetap pernah terjadi, terutama di masa awal perang. Namun skala serangan itu tidak sebesar yang menimpa pusat-pusat kota di Idlib lainnya. Aktivitas sehari-hari masyarakat Darkush bisa tetap berjalan, meski dengan keterbatasan.
Pasar tradisional masih buka, sekolah sebagian beroperasi, dan warga tetap mengolah lahan pertanian mereka. Kondisi ini membuat Darkush berbeda dari gambaran kehancuran kota-kota lain di Suriah. Ia dianggap lebih “tenang” meski tetap berada di wilayah oposisi.
Di luar konteks perang, Darkush sebenarnya memiliki sejarah panjang sebagai kota wisata kecil. Sebelum 2011, warga dari Aleppo dan Idlib kerap mengunjungi Darkush untuk berlibur, menikmati alam, dan merasakan sejuknya Sungai Orontes.
Aliran sungai yang membelah kota menjadikan Darkush destinasi populer pada musim panas. Banyak keluarga datang untuk beristirahat, memancing, atau sekadar duduk di tepi air yang jernih.
Selain sungai, kota ini juga memiliki sumber mata air dan pemandian alami. Tempat-tempat itu dahulu menjadi daya tarik wisata lokal, sekaligus menjadi pusat aktivitas sosial warga.
Darkush juga menyimpan peninggalan sejarah kuno. Ada sisa-sisa jembatan Romawi yang masih berdiri, serta catatan bahwa wilayah ini pernah menjadi pusat pembuatan perahu di masa lalu. Sejarahnya berlapis, mulai dari era Romawi, Bizantium, hingga era tentara Salib dan Mamluk.
Tidak hanya itu, hasil pertanian khas Darkush juga menambah daya tarik kota ini. Festival delima yang pernah digelar sebelum perang menjadi salah satu contoh bagaimana Darkush mempromosikan identitas lokalnya.
Namun, perang menghentikan seluruh aktivitas pariwisata. Infrastruktur rusak, keamanan tidak terjamin, dan akses ke wilayah itu tertutup bagi wisatawan asing. Darkush kehilangan statusnya sebagai destinasi wisata yang dikenal luas.
Meski demikian, bagi warga setempat, Darkush tetap menyimpan fungsi rekreatif. Di tengah keterbatasan, mereka masih menikmati keindahan sungai, alam pegunungan, dan udara sejuk. Tempat ini menjadi pelarian sederhana dari kerasnya realitas perang.
Pengungsi yang tinggal di sekitar Darkush juga menganggap kota ini sebagai ruang aman. Tidak sedikit keluarga yang lebih memilih bertahan di daerah itu dibandingkan kembali ke kamp pengungsian yang penuh sesak.
Kontras dengan situasi di kota lain, Darkush kerap disebut sebagai “surga kecil” di Idlib. Istilah itu tidak berarti tanpa masalah, melainkan menandakan bahwa Darkush relatif lebih layak huni dibandingkan wilayah konflik lain.
Dalam konteks perang yang tak kunjung usai, posisi Darkush memang unik. Ia bukan pusat politik, bukan pula jalur logistik utama, sehingga tidak menjadi target prioritas dalam pertempuran besar.
Tetapi keindahan alam dan sejarahnya masih menjadi kebanggaan warga. Meski wisatawan internasional tidak mungkin datang, Darkush tetap diperlakukan sebagai kota yang punya nilai lebih.
Bagi sebagian warga Idlib, Darkush bukan hanya tempat tinggal, tetapi juga simbol bahwa kehidupan normal masih bisa dijalani di tengah perang. Pasar, sekolah, dan sungai memberi kesan bahwa kota ini belum sepenuhnya hilang dari peta kehidupan.
Kini, di bawah pemerintahan baru Presiden Ahmed Al Sharaa, Darkush tetap berdiri dengan identitas ganda. Di satu sisi ia adalah kota pengungsian yang relatif aman, di sisi lain ia menyimpan kenangan sebagai kota wisata yang pernah ramai dikunjungi.
Kisah Darkush menjadi pengingat bahwa di tengah hancurnya Suriah, masih ada ruang-ruang kecil yang bertahan dengan keindahan dan sejarahnya. Kota ini seolah berkata bahwa Suriah bukan hanya tentang perang, tetapi juga tentang kehidupan yang terus berusaha bertahan.
Comments