Pemerintah baru Suriah mulai menunjukkan langkah konkret untuk membuka diri ke dunia internasional. Salah satu upaya penting dilakukan dengan menerima kunjungan Direktur Jenderal Badan Energi Atom Internasional (IAEA), Rafael Grossi, yang datang langsung ke Damaskus. Kunjungan ini menjadi sinyal kuat bahwa Suriah ingin meninggalkan sejarah masa lalu dan membangun masa depan berbasis teknologi damai.
Dalam pertemuannya dengan Presiden Ahmed al-Sharaa, Rafael Grossi menyampaikan optimismenya terhadap komitmen pemerintah baru Suriah. Ia mengatakan bahwa Suriah kini bertekad mengembangkan pemanfaatan energi nuklir untuk tujuan damai, seiring dengan membaiknya hubungan Damaskus dengan berbagai negara dan lembaga internasional.
Suriah menyatakan siap memberikan akses penuh bagi tim IAEA ke sejumlah lokasi yang dahulu pernah dikaitkan dengan program nuklir tersembunyi di era rezim sebelumnya. Keputusan ini disambut baik oleh banyak pihak yang menilai bahwa transparansi menjadi kunci utama membangun kepercayaan baru bagi Suriah di pentas global.
Grossi menyebut bahwa selama kunjungannya, pemerintah Suriah menunjukkan sikap terbuka dan positif untuk membangun kerja sama di berbagai bidang nuklir sipil. Ia optimistis proses klarifikasi terkait masa lalu program nuklir Suriah dapat diselesaikan dalam hitungan bulan ke depan.
Presiden Ahmed al-Sharaa sendiri, dalam pertemuan tersebut, menegaskan bahwa fokus Suriah saat ini adalah pemanfaatan teknologi nuklir untuk kepentingan medis, penelitian, dan ketenagalistrikan. Langkah ini sejalan dengan tren di kawasan, di mana sejumlah negara Timur Tengah mulai melirik energi nuklir sebagai alternatif energi bersih.
Rencana pemanfaatan nuklir Suriah meliputi revitalisasi fasilitas nuklir sipil di Damaskus dan Homs, serta pembangunan pusat radioterapi dan kedokteran nuklir untuk pelayanan kesehatan masyarakat. Selama 14 tahun perang saudara, sektor kesehatan Suriah mengalami kerusakan parah dan membutuhkan dukungan teknologi modern.
IAEA menyatakan kesiapannya mendukung Suriah dengan penyediaan peralatan medis berbasis nuklir, pelatihan tenaga ahli, serta transfer teknologi untuk pengobatan kanker dan penyakit berat lainnya. Hal ini diharapkan mampu mempercepat pemulihan sistem layanan kesehatan Suriah yang sangat terdampak konflik.
Tidak hanya itu, Suriah juga berminat mengembangkan reaktor nuklir berdaya rendah untuk keperluan riset, pendidikan, dan produksi radioisotop medis. Proyek ini akan melibatkan sejumlah universitas dan pusat penelitian di negara itu yang selama ini kesulitan mengakses teknologi canggih akibat sanksi internasional.
Komitmen Suriah membangun program nuklir damai mendapat dukungan dari berbagai negara di kawasan yang lebih dulu memulai program serupa. Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Yordania, dan Mesir saat ini tengah mengembangkan program nuklir sipil untuk ketahanan energi nasional.
Keputusan Amerika Serikat dan Uni Eropa mencabut sanksi ekonomi terhadap Suriah bulan lalu menjadi faktor pendorong penting. Hal ini membuka peluang baru bagi Suriah untuk kembali terlibat aktif dalam kerja sama ilmiah dan teknologi internasional, termasuk di bidang energi nuklir.
Meski demikian, situasi keamanan di Suriah masih menghadapi tantangan, utamanya serangan udara Israel yang terus terjadi dalam beberapa bulan terakhir. Meski begitu, pemerintah Damaskus menyatakan tekadnya tidak akan mundur dari upaya membangun program nuklir damai demi kepentingan rakyat.
IAEA akan mengirimkan tim lanjutan dalam waktu dekat untuk memulai proses verifikasi di sejumlah lokasi, termasuk bekas reaktor di Deir ez-Zor. Grossi memastikan proses ini akan dilakukan secara transparan dan profesional, serta melibatkan tenaga ahli lokal.
Langkah ini sekaligus menjadi bagian dari upaya Damaskus membuktikan kepada dunia untuk memajukan ilmu pengetahuan. Suriah ingin menunjukkan bahwa teknologi nuklir dapat menjadi sarana kemajuan di bidang kesehatan, energi, dan ilmu pengetahuan.
Banyak pengamat internasional memandang positif perubahan kebijakan ini. Mereka menilai langkah Suriah bisa menjadi momentum baru bagi kawasan Timur Tengah untuk lebih memprioritaskan teknologi damai untuk menyadarkan pihak hegemon yang tak ingin ada kemajuan teknologi di negara-negara Arab.
Di tengah situasi geopolitik kawasan yang terus memanas, keberanian Suriah membuka akses bagi IAEA dinilai sebagai kebijakan strategis yang patut diapresiasi. Hal ini sekaligus menjadi bentuk komitmen terhadap perdamaian yang selalu diganggu dan dirusak oleh Israel dan agenda politik global negara besar.
Pemerintah Suriah juga menyatakan siap menerima mahasiswa dan peneliti asing dalam program pertukaran akademik di bidang fisika nuklir dan teknik reaktor. Program ini diharapkan dapat meningkatkan kapasitas SDM lokal dan membangun jaringan kerja sama ilmiah lintas negara.
Presiden al-Sharaa dalam kesempatan terpisah menyampaikan harapannya agar teknologi nuklir dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk meningkatkan taraf hidup rakyat Suriah. Ia menegaskan bahwa prioritas utama pemerintah saat ini adalah pembangunan infrastruktur dasar dan layanan kesehatan.
Dengan perkembangan ini, Suriah ingin mempertegas posisinya sebagai negara yang berdaulat penuh dan bertanggung jawab terhadap masa depan rakyatnya. Melalui teknologi damai, Suriah berharap dapat kembali berkontribusi positif di panggung regional maupun global.
Grossi menyatakan bahwa IAEA menyambut baik keterbukaan Suriah dan siap memberikan pendampingan penuh dalam pengembangan teknologi nuklir sipil. Ia optimistis, dengan kerja sama yang erat, Suriah dapat menjadi contoh sukses bagi negara-negara pasca-konflik lainnya di dunia.
Kehadiran kembali Suriah di forum-forum internasional diprediksi akan memperkuat posisi Damaskus dalam percaturan politik regional. Selain itu, program nuklir damai yang dicanangkan dapat menjadi simbol kebangkitan Suriah dari puing-puing konflik menuju negara modern berbasis teknologi.
Suriah Perkuat Riset Bioteknologi Lewat ICGEB
Sebuah langkah penting dilakukan Suriah dalam bidang riset dan pengembangan bioteknologi melalui penyelenggaraan sebuah seminar ilmiah yang digelar di Damaskus. Acara ini diselenggarakan oleh Pusat Pelatihan Ilmu dan Teknologi Nuklir bekerja sama dengan Departemen Biologi Molekuler dan Bioteknologi di bawah otoritas Badan Energi Atom Suriah. Kegiatan ini juga menggandeng Asosiasi Suriah untuk Ilmu Hayati Medis.
Sebanyak 80 peserta hadir dalam seminar tersebut, terdiri dari peneliti, akademisi, dan mahasiswa pascasarjana yang tertarik pada pengembangan ilmu bioteknologi di Suriah. Seminar ini menjadi bukti nyata bahwa negara yang tengah bangkit dari konflik berkepanjangan itu kini mulai menata kembali sektor ilmiahnya secara serius.
Fokus utama seminar adalah memperkenalkan peran dan program kerja dari International Centre for Genetic Engineering and Biotechnology (ICGEB), sebuah lembaga penelitian internasional yang berbasis di Italia. Lembaga ini dikenal aktif mendorong kolaborasi riset di bidang bioteknologi dan rekayasa genetika di negara-negara berkembang.
Dalam acara ini, peserta diberikan pemahaman mendalam tentang spesialisasi ilmiah, teknologi mutakhir, serta tim riset yang didukung oleh ICGEB. Materi tersebut diharapkan dapat membuka wawasan baru bagi komunitas ilmiah di Suriah untuk menjalin kemitraan riset skala global.
Tidak hanya itu, seminar ini turut memaparkan berbagai proyek penelitian yang sebelumnya telah didanai oleh ICGEB. Para peserta mendapat gambaran jelas tentang bagaimana mekanisme pendanaan dan bentuk dukungan yang bisa diperoleh para peneliti di Suriah ke depan.
Menariknya, seminar ini juga menghadirkan narasumber dari ICGEB pusat di Italia. Dr. Emmanuel Buratti dari manajemen ICGEB menyampaikan pemaparan secara daring yang memberikan gambaran umum tentang kiprah pusat tersebut dan peluang kerja sama penelitian yang ditawarkan.
Dalam sambutannya, Dr. Buratti mengungkapkan optimismenya terhadap antusiasme komunitas ilmiah di Suriah. Ia menilai bahwa kolaborasi riset lintas negara akan menjadi salah satu kunci kebangkitan sektor kesehatan dan bioteknologi di kawasan Timur Tengah.
Di akhir seminar, para pemateri menggelar sesi diskusi terbuka. Peserta bebas mengajukan pertanyaan mengenai peluang beasiswa, pendanaan riset, hingga pelatihan internasional yang disediakan oleh ICGEB bagi para peneliti muda Suriah.
Banyak peserta mengaku antusias dengan peluang-peluang yang ditawarkan. Mereka berharap kehadiran ICGEB dapat menjadi jembatan bagi komunitas riset Suriah untuk kembali terhubung dengan jaringan penelitian internasional setelah terisolasi selama bertahun-tahun akibat konflik.
Pihak penyelenggara menyatakan bahwa seminar ini merupakan bagian dari agenda jangka panjang untuk memperkuat kemampuan nasional di bidang bioteknologi, khususnya dalam aspek kesehatan dan ketahanan pangan. Program-program lanjutan pun telah dipersiapkan dalam bentuk pelatihan intensif dan workshop tematik.
Selain itu, seminar ini juga bertujuan meningkatkan kesadaran tentang pentingnya pemanfaatan bioteknologi dalam upaya penyembuhan penyakit, pengembangan obat-obatan modern, serta pelestarian lingkungan di Suriah. Tema ini dinilai sangat relevan di tengah upaya negara membangun kembali sistem layanan kesehatannya.
Badan Energi Atom Suriah menegaskan bahwa penguatan sektor bioteknologi menjadi salah satu prioritas strategis nasional ke depan. Langkah ini dinilai penting untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat melalui riset-riset inovatif berbasis teknologi maju.
Dalam waktu dekat, pihak otoritas berencana mengirim delegasi peneliti muda ke berbagai negara anggota ICGEB untuk mengikuti program magang dan pelatihan. Hal ini diharapkan mampu menambah kapasitas SDM lokal agar sejajar dengan standar internasional.
Asosiasi Ilmu Hayati Medis Suriah menyambut baik kemitraan dengan ICGEB. Mereka berharap kemitraan ini tidak hanya sebatas seminar, tetapi berlanjut ke proyek-proyek kolaborasi konkret yang mampu menghasilkan produk riset yang aplikatif dan bermanfaat bagi masyarakat luas.
Para akademisi universitas di Suriah pun mulai mempersiapkan program-program studi dan laboratorium riset baru di bidang bioteknologi molekuler. Ketersediaan peralatan dan kemudahan akses ke jurnal-jurnal internasional menjadi target yang ingin diwujudkan dalam waktu dekat.
Dengan semangat optimisme, komunitas ilmiah di Suriah memandang kerja sama dengan ICGEB ini sebagai peluang strategis untuk mempercepat transformasi teknologi di sektor kesehatan dan lingkungan. Mereka percaya bahwa ilmu pengetahuan bisa menjadi motor penggerak utama pemulihan bangsa.
Keberhasilan penyelenggaraan seminar ini diharapkan menjadi langkah awal dari berbagai inisiatif riset nasional berbasis bioteknologi. Suriah ingin membuktikan bahwa meskipun diterpa konflik panjang, semangat ilmiahnya tetap hidup dan kini siap menyongsong era baru.
Pihak penyelenggara menyatakan bahwa kegiatan serupa akan terus digelar secara berkala, baik secara luring maupun daring. Hal ini bertujuan memperluas akses informasi dan jejaring profesional antarpeneliti di dalam dan luar negeri.
Di akhir acara, peserta seminar menyampaikan harapan agar pemerintah Suriah terus mendukung sektor riset dengan menyediakan dana, fasilitas, dan kebijakan yang kondusif. Mereka yakin, dengan dukungan maksimal, Suriah mampu bangkit sebagai pusat riset bioteknologi baru di kawasan.
Comments